Peduli berarti menjual (dan minta dibeli)

Era digitalisasi, era dimana tiap digit waktu dan ucapan tersisih, disana ada sekian digit tuntutan tersisip.

Adakah murni tersisa? Secara objektif, Ya ada. Di suatu tempat dengan kata sanding nun atau nan.

Itulah realitas kepedulian, berdasarkan subyektifisme saya.
Siapa yang peduli, itu menaruh sesuatu pada anda dan ia tak mengharapkan abai, ia harapkan balas, tak jarang pula dengan sadisnya menodong pamrih.

Ada dia yang tiba-tiba menyapa, bicara panjang lebar dengan intermezzo berjenaka, mengingatkan kita pada beberapa memori dan kemudian advertorial usai, tajuk utama pun mengemuka.

Ada dia yang lama tak berkunjung, kuta sambut sumringah karena kita pun bosan bersyahdu hari-hari menyepi. Kita ajak berbincang, kita tanya khabar, kita bicara soal sanak famili dan rutinitas yang sekian lama tak jumpa ini sedang ia geluti. Tawari makan sama-sama, lalu sebentar tawari bermalam dan "sorak sorai di hati pun bersambut", karna ia jawab IYA. Satu malam dua malam, senanglah kau rasa dapat kawan lagi tuk bagi rasa. Lalu dia bilang dia pulang hari ini.. ooohh yasudahlah tak apa, tapi lalu dia titip pesan untuk tak bilang ke siapa-siapa karena dia punya keluarga tak tahu dia pergi, sedang ada masalah ia dengan famili. Baiklah, pesanmu kusimpan.

Ada lagi dia, berbaik hati tiap hari, sapa, tanya, bagi informasi2 sehat dan lain-lain. Sebentar minta tolong sedikit, teruslah begitu, bagi untung pula, ajak kerjasama, baiklah.. seronoklah pasti. Tapi, sekali ada keliru, tak berbudilah jadi, mulut manis berubah masam, pahit, pedas, kasih luka di hati orang..

Adakah murni? Ya Ada, ia masih hinggap dan kasih cahaya bak kunang-kunang, beri indikasi masih adanya udara layak hirup disekitar kita, dan beri kesempatan bersyukur atas pelajaran dan cobaan yang mampir dari rasa demi rasa, frasa demi frasa, peristiwa demi peristiwa. Ucap syukur lah hamba..

Komentar

Postingan Populer